Review Film Hello, My Name is Doris (2015) dan Penyakit Hoarder – Beberapa orang memiliki kesulitan untuk melepaskan masa lalu. Salah satu cara melihat kecenderungan ini adalah melihat habit atau kebiasaannya dalam menyimpan dan melepaskan barang.
Di masa lalu saya pernah juga memiliki masalah ini. Tapi di suatu periode, saya merasa konyol menyimpan barang-barang yang tidak saya pakai. Kemudian tak berapa lama lalu, saya melihat ulang foto-foto lama dan amazed dengan barang-barang yang ada dalam foto. Ternyata banyak juga barang yang sudah saya ‘lepaskan’ dan lupa pernah memilikinya.
Saya juga suka menonton tayangan dan membaca bacaan mengenai declutter dan melepaskan barang. Karena biasanya ada masalah yang lebih dalam dari sekedar timbunan barang, yaitu masalah psikologi. Dan saya menemukannya dalam film Hello, My Name is Doris (2015) yang saya nonton di Netflix. Maafkan film ini akan segera hilang di layanan streaming itu namun saya baru sempat menuliskan ulasannya. Semoga masih bisa memberi manfaat.
Sinopsis Film Hello, My Name is Doris (2015)
Film ini berpusat di kehidupan Doris (Sally Field), seorang wanita berumur 60an yang bekerja sebagai akuntan di sebuah agency. Adegan dibuka ketika Doris berada di pemakaman ibunya dalam keadaan berduka. Dan adik lelakinya Todd (Stephen Root) beserta istri mengajaknya untuk pindah dari rumah yang telah ditinggali Doris bersama Ibunya. Namun Doris belum siap membahasnya.
Selanjutnya di kantor, ia bertemu dengan lelaki muda menarik yang ternyata adalah Art Director baru di kantornya. Namanya John Fremont (Max Greenfield) dan Doris diam-diam naksir dengan John.
Karena terpengaruh seminar motivasi, Doris memutuskan untuk mencoba mendekati John. Ia mulai mencari alasan untuk bisa berinteraksi dengan John. Melalui anak sahabatnya, Vivian (Isabella Acres) yang masih remaja, ia jadi membuat akun perempuan muda palsu agar bisa stalking akun media sosial John dan mengetahui minatnya. Khususnya band favoritnya, Baby Goya and the Nuclear Winters yang langsung dibeli albumnya oleh Doris.
Suatu ketika, John melihat CD album band favoritnya itu di meja kerja Doris. Ia langsung menganggap Doris itu asyik dan memiliki kesamaan dengannya. Bagi Vivian, hal ini merupakan celah untuk Doris bisa dekati John. Vivian langsung mencari informasi dan menemukan bahwa konser terdekat band tersebut ada di pulau sebelah kota Doris berada. Vivian menyemangati Doris untuk datang ke sana karena John pasti hadir.
Doris lalu datang ke konser itu meskipun harus naik kapal menyeberangi pulau dan berpenampilan total warna-warni. Dugaan Vivian benar, John memang hadir di konser itu. John terkejut dengan kehadiran Doris dan langsung mengajaknya nonton konser bersama. Tak hanya John, banyak anak muda yang ada di konser itu menganggap Doris keren. Doris sampai diajak ke ruang band Baby Goya and the Nuclear Winters dan diajak jadi model cover album band itu.
Melalui obrolannya dengan John, Doris menceritakan bahwa dulu ia sempat dilamar namun ia memilih menemani Ibunya dan tidak ikut ajakan kekasihnya pindah keluar kota.
Doris semakin akrab dengan John, namun ia patah hati ketika mengetahui John baru saja memiliki pacar. Dikuasai marah dan cemburu dan juga mabuk, Doris menulis di dinding akun media sosial John mengindikasikan bahwa mereka pernah ada sejarah hubungan romantis bersama.
Adik Doris, Todd dan istrinya masih berusaha agar Doris meninggalkan rumah Ibu mereka. Namun aksi mereka ‘menyingkirkan tumpukan barang’ di rumah itu dirasa terlalu agresif olehnya sehingga Doris mengusir mereka dari rumah.
Hubungan John dan pacarnya jadi putus karena tulisan mesra Doris di akun sosmed John. Patah hati, John berusaha tetap semangat dengan membuat pesta Thanksgiving dan mengundang Doris. Di pesta itu, Doris merasa ini kesempatannya untuk mendekati John kembali dan menjadi kekasihnya.
Ulasan Film Hello, My Name is Doris (2015)
Salah satu adegan di film Hello, My Name is Doris (2015)
Kehidupan Doris boleh dibilang agak mengkhawatirkan, karena ia mengesampingkan kehidupannya demi menjaga Ibunya. Kini setelah Ibunya tiada, ia seolah bingung mencari keseimbangan. Kebetulan memang, sosok John hadir tepat ketika Doris berusaha menemukan kembali arah hidupnya.
Tak usah ragu dengan akting Sally Field karena dia sangat natural menjadi Doris. Namun saya agak sangsi wanita seumurannya bisa kerja di agensi karena usianya terlampau tua. Sally Field sendiri aslinya berumur tujuh puluhan. Sementara usia batas pensiunan di Amerika Serikat saya kurang tahu. Tapi paling tidak harusnya Doris berumur lima puluh tahunan untuk masih kerja di agensi yang berisi pekerja berumur 20 hingga 40 tahunan maksimal. Mungkin karena jiwanya yang unik dari segi tampilan yang agak nerdy tapi nyentrik membuatnya bisa masuk di kantor itu?
Saya pikir Sally Field sedikit ketuaan terpilih memerankan Doris. Saya membayangkan Olivia Colman pasti bagus memerankan Doris yang quirky, tapi mungkin Colman sedang sibuk dengan proyek besar seperti menjadi ratu di serial The Crown. Max Greenfield sendiri sangat cocok jadi John yang muda dan berpenampilan menarik, tapi masih bisa membawa diri dengan baik pada wanita seumuran Doris. Sementara pemeran-pemeran lain cukup membawakan akting dengan baik.
Menurut saya film Hello, My Name Is Doris (HMNID) merupakan contoh kasus menarik mengenai kehidupan seseorang yang memiliki penyakit menimbun barang (hoarder) meskipun tidak begitu berat kasusnya. Sikap Doris yang susah lepas dari rumah Ibu yang ia tinggali (meski harus ke kantor naik kapal karena jauh rumahnya) dan susah melepaskan barang yang punya kenangan adalah sinyalnya. Doris sepertinya tipe yang ingin memiliki barang preloved dibanding membeli baru.
Namun tak semua orang punya kesabaran melihat ‘penyakit’ Doris seperti istri Todd yang ‘berinisiatif’ membuang barang Doris tanpa sepengetahuannya. Ternyata memaksakan kehendak juga bukan sikap yang bijaksana. Konselor rumah yang menangani kasus Doris sendiri sepertinya sudah biasa dengan kasus seperti Doris sehingga terlihat lebih sabar dan ‘maklum’.
Tak banyak kisah lebih dalam mengenai Doris yang susah melepaskan barang selain dari kehidupan sehari-harinya. Mungkin Doris berpegang pada masa lalunya dengan barang-barang karena khawatir masa kini dan masa depan tidak ‘cerah’ untuknya? Yang jelas ia seperti kesulitan move on dari masa lalu.
Yang menarik juga dari film ini adalah ‘udik’-nya Doris dengan hal-hal masa kini seperti media sosial, pergaulan anak muda dan minat mereka. Tentu ada juga bumbu-bumbu komedi seperti aksi pendekatan Doris pada John dan khayalan-khayalan nakalnya. Serunya adalah Doris tidak kolot atau tertutup dengan hal yang baru, sehingga ia bisa dengan mudah mencobanya walaupun itu membuatnya terlihat norak atau kikuk. Poin ini juga membuat film HMNID bisa dinikmati anak muda.
Saya cukup menikmati film ini bukan karena poin di atas tapi lebih ke perjalanan penemuan diri Doris. Meskipun memang melihat Doris begitu forward atau agresif mendekati John kadang terlihat tak nyaman, di lain waktu terlihat seperti mereka menjalin persahabatan saja. Tapi itulah, kadang seseorang butuh ketemu orang lain yang membuat mereka mau berubah.
Jalan akhir cerita film ini sendiri membuka banyak opsi untuk penonton. Saya sendiri berharap Doris menemukan pasangan yang setara dengannya, bukan cuma dari umur tapi juga dari keunikannya.
Penutup
Jika membutuhkan tontonan ringan mengenai kehidupan perempuan usia 50 tahunan ke atas dengan twist masa kini, film Hello, My Name Is Doris bisa menjadi pilihan. Doris mungkin tidak sigap dan lincah seperti karakter di drakor Crash Course in Romance yang saya tonton awal tahun ini, tapi sifat polos campur uniknya bikin tontonan jadi segar.
Begitulah ulasan saya. Bagaimana menurut pembaca? Stay healthy ya.