Life of Zero Waste Wannabe – Beberapa lama ini TPS Depok memiliki masalah penumpukan sampah. Ini saya sadari ketika truk sampah yang biasanya datang tiap 3 hari kok makin lama datangnya. Jadi seminggu sekali atau digantikan tukang sampah gerobakan.
Lihat di berita, ternyata memang TPS kepenuhan hingga menyebabkan longsor. Parahnya lagi, sampah ditumpuk di pinggir jalan dan mengganggu pejalan kaki. Kabarnya kini TPU diperluas areanya. Saya barusan baca bahwa ternyata ada yang membawa sampah bukan dari Depok. Ya ampuuun..
Sebenarnya saya sudah agak lama berpikir mau meminimalisir sampah. Tapi mungkin urgensi untuk mengurangi sampah baru ada sekarang. Lampu merah tanda bahaya lingkungan semakin ngga menyehatkan dengan sirine-nya mulai menyala.
Apalagi si kecil juga dalam masa pembelajaran mengenai kondisi Bumi dan bagaimana merawatnya. Masa iya saya yang ngajarin agar sayangi lingkungan ikutan menumpuk sampah?
Alhamdulillah akhir-akhir ini saya lebih berusaha untuk mengurangi sampah. Sepertinya ini adalah sebuah keharusan. Bukan lagi sebagai ‘hanya’ tren semata. Saya mencoba menerapkan gaya hidup zero waste. Bagi kamu yang nggak tahu, zero waste adalah sebuah gerakan atau upaya untuk tidak menghasilkan sampah dengan berbagai cara. Nah saya nih, salah satu wannabe-nya atau seseorang yang kepingin menerapkan zero waste.
Menolak Konsumsi yang Ngga Penting-Penting Amat
Berawal dari ke-ogah-an tinggi dari mengurus tumpukan barang yang ngga perlu, seperti yang saya ceritakan di tulisan mengenai declutter ini, kok rasanya konyol banget ya mengurus 10 kardus yang isinya ngga saya perlukan? Itu terjadi ketika harus pindah rumah ke belahan kota lain. Plus juga rumah yang akan ditempati juga ruangnya ngga sebegitu banyaknya.
Begitulah saya dulu di umur 20an sangat berkawan dengan perasaan konsumtif. Beli sesuatu karena ‘lucu’ atau lagi diskon. Saya menyadari kalau Ibu saya sering banget hibahin barang saya yang ada di rumahnya (yang ngga dibawa setelah menikah). Lalu saya juga baca buku Marie Kondo yang nge-hits itu dan belajar bahwa declutter itu sangat perlu (walau saya nggak sampai harus menyimpan yang sparks joy).
Akhirnya saya sampai ke titik dimana saya harus stop beli yang ngga perlu. Itu simply karena biar ngga mau ngerepotin diri saya di masa depan. Sekarang juga sebisa mungkin kalau ada barang ngga dipakai lebih baik dikasih saja.
Ternyata menolak beli atau menerima barang tak perlu ini termasuk ke tahap Refuse. Dimana kita menolak mengkonsumsi sesuatu yang akan menjadikan sampah darinya. Tahap ini saya ketahui dari Buku Menuju Rumah Minim Sampah dari Ibu DK Wardhani. Buku ini juga banyak insight-nya lho untuk kita yang mau mengurangi sampah dari rumah.
Kenalan saya dari sebuah komunitas blog alumni juga membahasnya di acara Instagram Live bertemakan Zero Waste. Ngobrol-ngobrol ini juga cukup menginspirasi agar kita mulai dari diri sendiri dalam menciptakan gaya hidup tanpa memproduksi sampah. Gaya hidup zero waste terlihat sederhana dan do-able.
Mendaur Ulang Barang yang Ngga Dipakai
Jujurly, saya termasuk pribadi yang suka mengolah barang tak terpakai jadi barang baru. Saya suka proses kreatifnya. Walaupun ke tahap eksekusinya itu berbeda lagi.
Apalagi setelah punya anak bayi, saya memutar otak bagaimana agar barang ngga kepakai bisa dieksplorasi sama anak saya (habis melihat mainan bayi yang harganya uwow). Memang tantangannya adalah waktu dan niat saja. Juga kemauan untuk mencari barang yang jadi penunjang proyek daur ulang.
Kini setelah menjadi ibu dan pekerja lepas, ngga banyak waktu untuk mendaur ulang barang. Kecuali tentunya ‘menumpuk’ barang yang potensial jadi wadah. Misalnya toples selai kaca atau yang paling banyak ya thinwall.
Seringnya kita bilang, “Sayang dibuang, bisa buat wadah ini atau itu.” Ini termasuk Reuse, salah satu istilah zero waste selain Refuse dan Recycle.
Tapi semenjak udah ga mau numpuk barang, di jumlah tertentu saya udah gak mau lagi nampung wadah. Lebih baik ya itu tadi dikasih saja.
Bisa juga sih menabung ke tempat penampungan plastik. Tapi saya belum mencoba cara ini. Karena belum ketemu tempat yang bisa dipercaya.
Oh ya, sempat nih proyek daur ulang kertas jadi salah satu bahan pelajaran belajar si kecil di rumah. Seru juga. Ini membuat si kecil belajar bahwa kita bisa memakai ulang barang yang sudah dipakai menjadi benda baru lagi.
Reduce atau Mengurangi
Oh ya saya sudah beberapa bulan ini mulai membawa kantong kain kalau belanja sayur dan ke warung. Alhamdulillah penjualnya sih 90 persen ngga masalah saya bawa kantung kain sendiri.
Sayangnya saya belum bisa 100 persen lepas dengan kantong kresek karena butuh untuk menampung sampah untuk diberikan ke truk sampah. Tentunya setiap saya terima kresek dari toko atau penjual, nggak serta merta saya buang. Harus selalu saya gunakan ulang.
Pernah sih paling-paling membeli kantong plastik yang ramah lingkungan. Tapi butuh ditelusuri lagi nih apakah plastik ini benar-benar seperti yang diklaim. Tahu kan, ada yang namanya greenwashing.
Pernah juga nih saya mau beli dimsum di dekat rumah. Sudah niat mau bawa wadah untuk menaruh si dimsum. Tapi ternyata jumlah yang saya pesan terlalu banyak. Nggak muat di wadah yang saya bawa. Alhasil tetap saja pakai kemasan plastik dari penjual, walaupun kecil. Tapi ada sedikit kelegaan sih bisa mengurangi sampah plastik.
Kalau kardus, Alhamdulillah ada orang di dekat kami yang mau menampung kardus-kardus. At the same time, ini jadi solusi biar ngga jadi sarang tikus di gudang atas. Sekali-kali juga terpakai untuk prakarya si kecil.
Namun susah untuk menolak kardus karena sudah jadi kemasan dari toko online. Paling-paling sih mengurangi pembelanjaan dari toko online. Kembali deh kita lebih baik mendatangi toko offline.
Saya punya kebiasaan jajan kopi. Berhubung saya kerja dari rumah, makanya ada kalanya saya suka banget pesan kopi. Tapi sisa sampahnya lumayan; gelas plastik atau kertas, tatakannya dan sedotan tipis plastiknya. Belum kreseknya.
Saya putuskan untuk bikin saja di rumah. Beli kopi favorit dan buat sendiri. Ampas kopi pun masih bermanfaat untuk dikompos. Ya, memang sih ada kalanya tetap jajan. Tapi saya coba lebih banyak bikin kopi saja di rumah.
Pembusukan Atau Rot
Saya sudah lama sebenarnya penasaran dengan kompos. Menurut saya brilian banget untuk memakai ‘sampah’ dapur untuk menghasilkan pupuk. Daripada menambah sampah, lebih baik mengolah lagi untuk dijadikan lahan subur lingkungan.
Akhirnya beli juga nih kompos kit. Tapi namanya juga emak-emak sibuk, baru setelah seminggu saya terima paketnya barulah saya coba. Namun entahlah, rasanya belum sukses nih. Terakhir dibuka masih kurang basah. Alhamdulillah ada panduannya juga nih dari toko.
Ternyata mengompos ada ilmunya. Misalnya sampah organik apa saja yang bisa menarik hewan pengerat. Karena rumah saya agak rawan didatangi tikus, saya berhati-hati tidak mengompos sampah organik seperti daging atau lainnya. Alhamdulillah juga wadah mengompos saya juga tertutup.
Juga, sampah kering apa saja yang bisa dipakai untuk mengompos? Teh celup ternyata nggak bisa. Kertas majalah yang glossy juga ngga bisa tuh, karena nggak gampang mengurai seperti kertas koran misalnya.
Untuk bagian rot ini memang saya belum banyak pengalaman. Karena kebiasaannya masih apa-apa yang membusuk berarti sudah tidak layak dan harus dibuang. Padahal belum tentu sih. Saya berharap berhasil karena bisa jadi pupuk untuk beberapa tanaman yang ada di rumah.
Belajar Terus Dari Ahli dan Sebarkan
Di buku Menuju Rumah Minim Sampah disebutkan bahwa tak apa untuk tidak langsung master dalam meminimalisir sampah. Kita bisa lakukan bertahap. Ya meski ngga sempurna, tapi we have to start somewhere!
Kita juga bisa berbagi pengalaman kita melakukan zero waste. Menulis di blog atau social media itu juga bisa. Kita ngga pernah tahu kalau tulisan kita bisa ‘nyangkut’ di kepala orang, memantik kesadaran bahwa harus dari diri kita untuk merawat lingkungan. Itulah salah satu kerennya berbagi tulisan.
Serunya lagi, ada Zero Waste Blog Challenge yang bisa diikuti nih. Khusus ibu-ibu yang bergabung di ITB motherhood.Ketentuan lengkapnya mudah kok, cukup berbagi mengenai zero waste di blog masing-masing.
Penutup
Begitulah sedikit dari gaya hidup meminimalisir sampah yang coba saya lakukan. Meskipun belum total banget tapi seenggaknya sudah dimulai dan sudah berusaha dimaksimalkan. Sebenarnya nggak tahu juga apakah akan benar-benar bisa total zero waste, karena membutuhkan komitmen tinggi. Bagaimana dengan pengalamanmu atau pendapatmu mengenai zero waste? Bagikan juga yuk ceritamu.
Wah ketemu blog dengan niche yang mirip.
Sama sama baca bukunya bu DK.Wardhani juga. Jangan jangan seniot di kelas BZW nih …
Kalo dibilang pengen partisipasi mengurangi sampah , pasti mau bangettt mba. Aku paham sampah skr ini jd masalah yg ga remeh. Inget kejadian pas TPS sampah pernah meledak. Ngeriii kalo sampe terulang lagi. Walo sbnrnya aku penasaran juga, sbnrnya sampah di TPS diapakan yaa. Apa ga seperti di LN yg langsung diolah. Atau mungkin krn di LN sampah sudah dipisah2 antara jenisnya, sementara di Indonesia kan mash blum yaa. Semua campur jd 1
Aku blm yakin utk bisa zero waste. Tapi berusaha utk mengurangi dulu. Dan lagi coba utk memilah sampah